Jakarta,Komunitastodays,- Diskusi Kebangsaan dengan tema “Mencari Solusi Permasalahan Negara Dan Bangsa Negara” digelar Dewan Perwakilan Daerah RI dan Gerakan Bela Negara secara hibrid di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (14/3/2022).
Diskusi ini merespons isu-isu politik yang mengemuka saat ini, seperti koalisi parpol dan pemerintah yang yang memandulkan sikap kritis, hegemoni parpol, hingga kekuasaan MK tanpa kontrol. Itu semua melahirkan ketidakadilan dan pemasungan hak politik warga negara.
Hadir dalam diskusi kebangsaan ini La Nyalla Mattalitti (Ketua DPD RI), Brigjen TNI Purn Hidayat Poernomo (Ketua Umum Gerakan Bela Negara), Amien Rais (Ketua Majelis Syuroh Partai Ummat), Din Syamsuddin (Ketua Pengarah Indonesia Maju), dan Dr. Suteki (Guru Besar Hukum dan Masyarakat FH UNDIP).
Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti dalam sambutannya, mengatakan diskusi bertujuan menyerap pemikiran dan pendapat para tokoh bangsa dalam menjawab persoalan yang terjadi di negeri ini.
“Kita ingin berkontribusi sebaik mungkin bagi negara, mengumpulkan pendapat para tokoh berkompeten menjadi masukan bagi DPD RI dalam melangkah ke depan, menyelesaikan masalah fundamental bangsa,” tutur La Nyalla.
La Nyalla melihat fenomena berdirinya partai politik baru seperti Partai Ummat yang digagas Amien Rais dan Partai Pelita oleh Din Syamsudin sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap kinerja partai politik lama. Partai politik lama dinilai sebagian masyarakat tidak mampu menjawab cita cita nasional negara ini.
Salah satu tujuan lahirnya partai politik adalah untuk menempatkan kader terbaiknya sebagai pemimpin nasional.
Muncul permasalahan, partai politik baru tidak dapat mengajukan capres dan cawapres sesuai ketentuan Pasal 222 UU Pemilu. Pasal 222 ini, menurut La Nyalla, melanggar Pasal 6 A ayat 2 Konstitusi, Pembukaan UUD 1945, Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 tentang Pendirian Parpol, dan melanggar UU Parpol sendiri.
Pasal 222 telah menjegal semua partai politik mengusulkan pasangan capres-cawapres hanya karena tidak punya basis suara hasil pemilu 2019.
La Nyalla memberikan dukungan kepada upaya Partai Ummat, Partai Pelita dan partai politik baru lainnya untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 222 dalam UU Pemilu tersebut.
Menurut Ketua DPD RI ini, sejak MPR mencabut Ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada November 1998, P4 dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
“Perubahan mendasar arah bangsa ini telah didesain sedemikian rupa agar bangsa ini menjadi bangsa yang tercerabut dari watak dasar dan watak asli yaitu Pancasila.
Hasil mencolok dari amandemen konstitusi 20 tahun silam, menurut La Nyalla, adalah hegemoni partai politik yang begitu kuat, sehingga elemen-elemen non partisan termasuk unsur golongan telah kehilangan perannya.
Bahkan DPD RI sebagai bagian dari wakil daerah juga tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam konstitusi. Sekarang hanya partai politik yang menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Ketika mayoritas partai politik berkoalisi dengan pemerintah, kita menyaksikan semua kebijakan berjalan sesuka hati. Aturan yang tidak sesuai diganti begitu saja. UU dikebut untuk disahkan, tidak peduli penolakan masyarakat, partai politik bersepakat membuat aturan ambang batas pencalonan presiden, meskipun semua pakar dan ahli tata negara mengatakan hal itu lebih banyak mudaratnya.
Hegemoni itu melahirkan oligarki kekuasaan. Segelintir pengusaha dan penguasa menguasai mayoritas kekayaan negara.
Menurut La Nyalla, DPD RI tak akan membuka pintu bagi amandemen konstitusi yang sedang diperjuangkan parpol.
Terkait dengan maksud judicial review, La Nyalla mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) agar bertindak adil dan jujur terhadap hak politik warga negara. Siapakah yang mengontrol MK selama ini, tanya La Nyalla. Rakyat harus mengawasi MK. MK bukan Tuhan. * (Rika)