Oleh:
Dar Edi Yoga
Wakil Bendahara Umum PWI Pusat 2018–2023
Komunitastidays.co – Opini Hudono, Ketua PWI Yogyakarta, berjudul “Mengapa Memilih Hendry Ch Bangun?” mencoba menggambarkan Hendry Ch Bangun (HCB) sebagai korban fitnah dan persekongkolan politik internal. Sekilas narasi itu meyakinkan, namun jika diteliti lebih dalam, justru menyingkap kelemahan mendasar dalam kepemimpinan HCB.
1. Persoalan Dana UKW
Hudono menekankan adanya audit independen dan SP2Lid dari kepolisian. Tetapi ia menutup mata bahwa SP2Lid bukan akhir segalanya, karena kasus itu masih bisa dibuka kembali melalui gelar perkara khusus.
Inti persoalan bukan sekadar ada atau tidaknya unsur pidana, melainkan integritas dan transparansi. Dana dari Forum Humas BUMN (FH BUMN) adalah uang publik, sehingga pengelolaannya harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Audit independen yang disebut-sebut seharusnya dipublikasikan agar semua pihak bisa menilai objektif. Jika hasil audit justru dinyatakan tidak boleh dibuka untuk umum, wajar bila muncul pertanyaan: apa yang sebenarnya disembunyikan? Transparansi tanpa akses publik hanyalah jargon kosong.
Lebih memprihatinkan lagi, HCB masih menggugat FH BUMN ke PN Jakarta Pusat dalam perkara wanprestasi, menuntut pelunasan sisa dana. Fakta ini menunjukkan polemik dana belum selesai dan mempertebal krisis kepercayaan.
Ketika organisasi pers terbesar di Indonesia saja dirundung masalah seperti ini, otomatis kepercayaan publik runtuh.
2. Legitimasi Hukum yang Runtuh
Hudono menjadikan SK Kemenkumham sebagai bukti sah kepemimpinan Hendry. Namun fakta terbaru justru sebaliknya. Dirjen AHU telah memblokir dokumen PWI Pusat karena dualisme kepengurusan.
Pemblokiran itu berarti legalitas HCB tidak bisa dijadikan alasan tunggal untuk mengklaim kepemimpinan. Apalah artinya SK jika sebagian besar provinsi justru menolak mengakui? Legalitas administratif tanpa legitimasi anggota hanyalah simbol kosong.
3. Alasan KLB yang Diabaikan
Hudono menyebut KLB sebagai aksi makar. Padahal, KLB justru lahir sebagai reaksi atas krisis kepercayaan. Banyak pengurus daerah merasa terpinggirkan, aspirasinya tak didengar, dan akhirnya memilih mencari jalan alternatif.
KLB adalah gejala nyata kegagalan seorang ketua umum. Kepemimpinan tidak diukur dari seberapa kuat bertahan di kursi jabatan, melainkan seberapa mampu merawat kepercayaan anggotanya.
4. Klaim Pemersatu yang Kontradiktif
Hudono menyebut Hendry sebagai pemersatu. Namun faktanya, Hendry melaporkan rekan seorganisasi ke polisi, menuding pihak lain makar, lalu tampil dengan narasi persatuan.
Itu bukan wajah pemersatu, melainkan wajah pemecah. Persatuan tidak lahir dari ancaman pidana, melainkan dari sikap rendah hati dan keterbukaan.
Penutup: Saatnya Jujur
Krisis PWI hari ini tidak lahir dari fitnah atau rekayasa, tetapi dari akumulasi kesalahan kepemimpinan HCB. Terlalu banyak energi organisasi dihabiskan untuk membela diri, bukan memperkuat kapasitas anggota.
PWI, yang seharusnya menjadi penopang kebebasan pers, justru terjebak dalam drama kepengurusan.
Menjelang Kongres PWI 29–30 Agustus 2025 di Cikarang, kita perlu keberanian untuk jujur: Hendry bukan jawaban atas krisis ini. Ia bagian dari masalah, bukan solusi.
Memilih kembali Hendry Ch Bangun hanya akan memperpanjang kebuntuan, sementara kebutuhan terbesar PWI adalah pemimpin baru yang bersih, visioner, dan dipercaya semua pihak.