Ketika Gabah Bersuara: Harga Beras Panas, Petani Butuh Pendingin Otak
Oleh: Dian Istiqomah
Anggota DPR RI 2019–2024
Komunitastodays.co – Jakarta| Gejolak pasar beras kembali memanas. Gabah langka, harga beras melambung, sementara isu penarikan stok oleh produsen tanpa mengikuti aturan kian merebak. Di tengah ketidakpastian ini, kita tak bisa hanya mengandalkan panen raya atau pola intervensi lama yang menguras anggaran tanpa memberdayakan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan cerdas—dari hulu ke hilir—yang menyentuh akar masalah.
📈 Harga Gabah Menanjak, Rantai Pasok Terguncang
Data Panel Harga Pangan Nasional per 5 Agustus 2025 mencatat harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp7.400–Rp7.600/kg. Padahal, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) masih berada di angka Rp6.500/kg. Ini menekan pelaku usaha penggilingan kecil, sekaligus memicu kenaikan harga beras di pasar yang jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET).
Bukan hanya itu, Fitch Solutions/BMI, lembaga riset agribisnis global, secara konsisten menyoroti rendahnya produktivitas dan tingginya biaya input sebagai akar persoalan. Ketergantungan pada impor beras, yang angkanya terus dikonfirmasi oleh BPS, memperlihatkan bahwa kita belum benar-benar berdaulat secara pangan.
🌾 Musim Tanam Kedua: Rentan Spekulasi
Musim tanam kedua (MT II) masih berlangsung, dengan panen raya baru akan tiba akhir September. Ini menciptakan periode kekosongan pasokan yang sangat rawan dimanfaatkan spekulan. Lebih pelik lagi, muncul dugaan penahanan stok oleh produsen besar sembari menanti kebijakan perberasan yang belum pasti dari pemerintah.
Memang, Bulog telah menggelar operasi pasar dan pemerintah mulai menindak pelanggaran harga. Tapi kita butuh lebih dari sekadar pemadam kebakaran. Fakta bahwa produktivitas nasional kita stagnan di 5,2 ton/hektar, tertinggal dari Vietnam dan Thailand yang sudah menyentuh 6 ton/hektar, menunjukkan bahwa sistem pangan kita masih penuh PR.
🌍 Krisis Iklim: Ancaman di Depan Mata
Perubahan iklim memperburuk risiko. Suhu ekstrem dan pola hujan tak menentu—seperti dianalisis oleh World Food Programme (WFP)—telah berdampak langsung pada penurunan hasil panen. Dalam konteks ini, inovasi bukan sekadar opsi, tapi keniscayaan. Kita perlu solusi berbiaya efisien, namun berdampak besar.
💡 Gagasan Solusi: Empat Langkah Inovatif Menyejukkan Panasnya Harga Beras
1. Platform Digital Panen Mandiri: Pasar Gabah Tanpa Tengkulak
Bayangkan sebuah platform digital peer-to-peer seperti marketplace, tapi khusus untuk gabah dan beras. Petani bisa mengunggah data panen mereka—jenis gabah, kualitas, lokasi, harga harapan. Penggilingan padi kecil dan UMKM beras bisa langsung mengakses dan menawar.
Pemerintah cukup jadi fasilitator—bukan operator—dengan menyediakan sistem escrow dan jaminan transaksi. Dengan cara ini, rantai pasok diperpendek, praktik mark-up ditekan, dan petani mendapatkan harga yang lebih adil. Di sisi lain, data real-time dari transaksi ini akan jadi sensor pasar yang membantu pemerintah mengatur kebijakan lebih presisi.
2. Pusat Inovasi Pangan Komunitas: Dari Balai Desa untuk Ketahanan Desa
Penggilingan padi kecil di desa kerap tak punya modal atau alat. Pemerintah cukup menyulap balai desa menjadi “Pusat Inovasi Pangan Komunitas”, dengan dana hibah atau bantuan alat: pengering gabah sederhana, penggiling mini, alat pengemasan dasar.
Petani bisa mengolah dan mengemas sendiri beras mereka—dari hasil panen langsung menjadi produk siap jual. Nilai tambah tinggal di desa, UMKM lokal tumbuh, bahkan bisa memunculkan merek beras lokal. Gotong royong dan optimalisasi aset yang ada menjadikan model ini sangat efisien.
3. Kampanye Digital “Bijak Beras”: Edukasi Lewat Influencer dan Komunitas
Diversifikasi pangan tak akan berhasil hanya lewat spanduk atau iklan TV. Saatnya menggandeng influencer lokal, kreator konten kuliner, komunitas digital, bahkan ibu-ibu PKK di media sosial. Mereka bisa membuat konten edukatif tentang pangan lokal—dari resep olahan jagung dan sagu, hingga tips hemat nasi dan anti-food waste.
Dengan strategi ini, konsumsi masyarakat bisa mulai berubah—lebih sadar, lebih bijak, dan tidak hanya menggantungkan kebutuhan pada satu komoditas: beras.
4. SMS Harga Gabah: Informasi Pasar di Tangan Petani
Banyak petani masih tak tahu harga pasar terkini. Maka, hadirlah sistem SMS/USSD berbasis data lapangan. Petani cukup kirim SMS atau tekan kode USSD, langsung dapat balasan harga gabah di wilayahnya.
Data dikumpulkan dari petugas penyuluh atau relawan setempat. Sistem ini murah, bisa dijalankan tanpa internet, dan bisa menjadi alat transparansi untuk mencegah permainan harga oleh oknum perantara.
Penutup: Kedaulatan Itu Perlu Dirancang
Krisis beras bukan sekadar masalah logistik atau cuaca, tapi masalah sistem. Di balik harga yang panas, ada petani yang kepanasan otaknya karena selalu jadi pihak yang dikorbankan. Saatnya memberi mereka pendingin: akses, informasi, alat, dan sistem yang adil.
Panen raya mungkin akan tiba. Tapi kedaulatan pangan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus dirancang, dilindungi, dan dihidupi oleh kebijakan yang berpihak serta masyarakat yang bergerak bersama.